Dunia mendapuknya sebagai Bapak Optik. Gelar kehormatan itu dianugerahkan kepada Ibnu Al-Haitam atas kontribusinya dalam mengembangkan ilmu optik. Alhazen - begitu orang Barat menyebutnya - bernama lengkap Abu Ali Muhammad Ibnu Al-Hasan Ibnu Al-Haitham merupakan sarjana Muslim terkemuka yang terlahir di Basrah, Irak pada tahun 965 M.
Sejak kecil Al-Haitham yang berotak encer menempuh pendidikan di tanah kelahirannya. Ia merintis kariernya sebagai pegawai pemerintah di Basrah. Namun, Al-Haitham ternyata tak betah berlama-lama berkarir di dunia birokrasi. Al-Haitham yang lebih tertarik untuk menimba ilmu akhirnya memutuskan untuk berhenti sebagai pegawai pemerintah.
Ia pun lalu memilih merantau ke Ahwaz dan metropolis intelektual dunia saat itu yakni kota Baghdad. Di kedua kota itu ia menimba beragam ilmu. Ghirah keilmuannya yang tinggi membawanya terdampar hingga ke Mesir. Di negeri piramida itu, Al-Haitham meneliti men aliran dan saluran Sungai Nil serta menerjemahkan buku-buku tentang matematika dan ilmu falak.
Al-Haitham pun sempat mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar. Setelah itu, secara otodidak, ia mempelajari hingga menguasai beragam disiplin ilmu seperti ilmu falak, matematika, geometri, pengobatan, fisika, dan filsafat. Secara serius dia mengkaji dan mempelajari seluk-beluk ilmu optik. Beragam teori tentang ilmu optik telah dilahirkan dan dicetuskannya.
Penelitiannya tentang cahaya memberikan ilham kepada ahli sains Barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler menciptakan mikroskop serta teleskop. Dialah orang pertama yang menulis dan menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya. Konon, dia telah menulis tak kurang dari 200 judul buku.
Sayangnya, hanya sedikit yang terisa. Bahkan karya monumentalnya, Kitab Al Manadhir, tidak diketahui lagi rimbanya. Orang hanya bisa mempelajari terjemahannya yang ditulis dalam bahasa Latin. Kekurangpedulian umat Islam terhadap karya-karya ilmuwan terdahulu, telah membuat Islam tertinggal.
Sejak kecil Al-Haitham yang berotak encer menempuh pendidikan di tanah kelahirannya. Ia merintis kariernya sebagai pegawai pemerintah di Basrah. Namun, Al-Haitham ternyata tak betah berlama-lama berkarir di dunia birokrasi. Al-Haitham yang lebih tertarik untuk menimba ilmu akhirnya memutuskan untuk berhenti sebagai pegawai pemerintah.
Ia pun lalu memilih merantau ke Ahwaz dan metropolis intelektual dunia saat itu yakni kota Baghdad. Di kedua kota itu ia menimba beragam ilmu. Ghirah keilmuannya yang tinggi membawanya terdampar hingga ke Mesir. Di negeri piramida itu, Al-Haitham meneliti men aliran dan saluran Sungai Nil serta menerjemahkan buku-buku tentang matematika dan ilmu falak.
Al-Haitham pun sempat mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar. Setelah itu, secara otodidak, ia mempelajari hingga menguasai beragam disiplin ilmu seperti ilmu falak, matematika, geometri, pengobatan, fisika, dan filsafat. Secara serius dia mengkaji dan mempelajari seluk-beluk ilmu optik. Beragam teori tentang ilmu optik telah dilahirkan dan dicetuskannya.
Penelitiannya tentang cahaya memberikan ilham kepada ahli sains Barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler menciptakan mikroskop serta teleskop. Dialah orang pertama yang menulis dan menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya. Konon, dia telah menulis tak kurang dari 200 judul buku.
Sayangnya, hanya sedikit yang terisa. Bahkan karya monumentalnya, Kitab Al Manadhir, tidak diketahui lagi rimbanya. Orang hanya bisa mempelajari terjemahannya yang ditulis dalam bahasa Latin. Kekurangpedulian umat Islam terhadap karya-karya ilmuwan terdahulu, telah membuat Islam tertinggal.