Membela diri merupakan sesuatu yang manusiawi, dalam kondisi tertekan, merasa terpojok dan disudutkan, merasa keberadaannya terancam dan merasa tidak dipandang sebelah mata, dalam kondisi tersebut seseorang akan tergugah mempertahankan diri dengan melakukan pembelaan demi menunjukkan bahwa dirinya tidak seperti yang diduga, hanya saja terkadang seseorang cenderung membela diri dengan menyerang balik, ini kurang bijak, akan lebih bijak dalam membela diri dengan menetapkan bahwa apa yang dia dicela karenanya bukanlah merupakan kekurangan, justru itulah kelebihan lebih-lebih jika hal tersebut disandarkan kepada argumentasi riil yang membuat orang menganggukkan kepala. Inilah yang dilakukan orang orang-orang berikut:
Seorang Arab Badui bernama Na’amah (artinya burung unta). Dia dicela karena namanya yang buruk. Orang-orang berkata, “Apa nama Na’amah?” Dengan bijak si Badui berkata,
“Nama hanyalah tanda, kalau nama adalah kehormatan niscaya semua orang bernama sama.”
Hal yang mirip terjadi pada suatu suku Arab yang bernama Anfu Naqah (artinya hidung unta betina), orang-orang mencibir, “Apa nama Anfu Naqah?” maka hadirlah al-Huthai’ah Jarwal bin Aus, seorang penyair berlisan pedas, Umar bin Khattab pernah memenjarakannya karena hinaannya yang pedas kepada masyarakat, wafat tahun 30 H, al-Huthai’ah hadir membela, dia berkata,
Suatu kaum, mereka adalah anfu (hidung) sementara selain mereka adalah ekor
Siapa yang berani menyamakan ekor dengan anfu (hidung)naqah?
Lihatlah bagaimana al-Mughirah bin Habna, penyair Islam dari Bani Tamim, yang gugur syahid di Khurasan tetap percaya diri dengan penyakit sopaknya, dia tidak menganggapnya sebagai aib dan dia membuktikan dengan alasan yang riil. Katanya.
Jangan mengira warna putih padaku sebagai kekurangan
Sesungguhnya kuda-kuda pacuan perutnya berwarna putih
Atau ketika seseorang direndahkan karena penampilannya yang ala kadarnya, dengan baju compang-camping, seorang penyair dengan kondisi seperti ini membela diri. Dia berkata,
Kalaupun pakaianku compang-camping karena usang
Maka aku ibarat pedang tajam dalam sarungnya yang terkoyak
Atau ketika seseorang dicela karena ketakutannya terhadap sesuatu dia pun membela diri bahwa ketakutannya beralasan, dia mendukung alasannya dengan sesuatu yang kongrit. Ini Ibnu Rumi, Abul Hasan Ali bin al-Abbas, seorang penyair ulung dari Baghdad wafat tahun 283 H, mengungkapkan alasan ketakutannya naik perahu, dia berkata,
Aku tidak naik perahu, aku takut
Diriku tenggelam karenanya
Aku adalah tanah sedangkan laut adalah air
Dan tanah di dalam air mencair
Seseorang pun bisa membela diri manakala orang-orang bodoh dan rendahan meraih kedudukan yang mungkin lebih tinggi darinya di mata manusia. Ath-Thughrai, misalnya dia adalah Abu Ismail, al-Husain bin Ali, penyair penulis, perdana menteri raja-raja Turki saljuk, terkenal dengan bait-bait syair yang disebut dengan Lamiyah al-Ajam, terbunuh tahun 514 H, ath-Thughrai ini berkata,
Jika orang di bawahku berada di atasku maka tidak heran
Karena teladanku adalah matahari yang lebih rendah daripada bintang
Hal mirip dilakukan sebelumnya oleh Muslim bin al-Walid, salah seorang penyair besar Daulah Abbasiyah, wafat tahun 208 H, dia berkata,
Jika mereka duduk di atasku tanpa keahlian
Ketinggian martabat dan kemuliaan tempat
Maka asap di atas api dan terkadang
Debu beterbangan di atas surban prajurit berkuda
Seorang Arab Badui bernama Na’amah (artinya burung unta). Dia dicela karena namanya yang buruk. Orang-orang berkata, “Apa nama Na’amah?” Dengan bijak si Badui berkata,
“Nama hanyalah tanda, kalau nama adalah kehormatan niscaya semua orang bernama sama.”
Hal yang mirip terjadi pada suatu suku Arab yang bernama Anfu Naqah (artinya hidung unta betina), orang-orang mencibir, “Apa nama Anfu Naqah?” maka hadirlah al-Huthai’ah Jarwal bin Aus, seorang penyair berlisan pedas, Umar bin Khattab pernah memenjarakannya karena hinaannya yang pedas kepada masyarakat, wafat tahun 30 H, al-Huthai’ah hadir membela, dia berkata,
Suatu kaum, mereka adalah anfu (hidung) sementara selain mereka adalah ekor
Siapa yang berani menyamakan ekor dengan anfu (hidung)naqah?
Lihatlah bagaimana al-Mughirah bin Habna, penyair Islam dari Bani Tamim, yang gugur syahid di Khurasan tetap percaya diri dengan penyakit sopaknya, dia tidak menganggapnya sebagai aib dan dia membuktikan dengan alasan yang riil. Katanya.
Jangan mengira warna putih padaku sebagai kekurangan
Sesungguhnya kuda-kuda pacuan perutnya berwarna putih
Atau ketika seseorang direndahkan karena penampilannya yang ala kadarnya, dengan baju compang-camping, seorang penyair dengan kondisi seperti ini membela diri. Dia berkata,
Kalaupun pakaianku compang-camping karena usang
Maka aku ibarat pedang tajam dalam sarungnya yang terkoyak
Atau ketika seseorang dicela karena ketakutannya terhadap sesuatu dia pun membela diri bahwa ketakutannya beralasan, dia mendukung alasannya dengan sesuatu yang kongrit. Ini Ibnu Rumi, Abul Hasan Ali bin al-Abbas, seorang penyair ulung dari Baghdad wafat tahun 283 H, mengungkapkan alasan ketakutannya naik perahu, dia berkata,
Aku tidak naik perahu, aku takut
Diriku tenggelam karenanya
Aku adalah tanah sedangkan laut adalah air
Dan tanah di dalam air mencair
Seseorang pun bisa membela diri manakala orang-orang bodoh dan rendahan meraih kedudukan yang mungkin lebih tinggi darinya di mata manusia. Ath-Thughrai, misalnya dia adalah Abu Ismail, al-Husain bin Ali, penyair penulis, perdana menteri raja-raja Turki saljuk, terkenal dengan bait-bait syair yang disebut dengan Lamiyah al-Ajam, terbunuh tahun 514 H, ath-Thughrai ini berkata,
Jika orang di bawahku berada di atasku maka tidak heran
Karena teladanku adalah matahari yang lebih rendah daripada bintang
Hal mirip dilakukan sebelumnya oleh Muslim bin al-Walid, salah seorang penyair besar Daulah Abbasiyah, wafat tahun 208 H, dia berkata,
Jika mereka duduk di atasku tanpa keahlian
Ketinggian martabat dan kemuliaan tempat
Maka asap di atas api dan terkadang
Debu beterbangan di atas surban prajurit berkuda