Salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh setiap muslim adalah iman kepada para rasul, terutama Rasulullah saw. Bukti utama beriman kepada Rasulullah saw. adalah ittiba’ (mengikuti Rasulullah saw.). Orang-orang yang melakukan ittiba’ kepada Rasulullah saw. akan meraih banyak nata-ij[1] (manfaat dan buah positif), di antaranya: mahabbatullah (cinta dari Allah), rahmatullah (kasih sayang-Nya), hidayatullah (petunjuk dari-Nya), mushahabatul akhyar fil jannah (bersama orang-orang pilihan di surga), asy-syafa’ah (mendapatkan syafaat dari Rasulullah saw.), nadharatul wajhi (muka yang bersinar dan berseri di surga), mujawaratu ar-rasul (menjadi tetangga Rasulullah saw. di surga), ‘izzatun-nafsi (meperoleh kemuliaan jiwa di dunia dan akhirat), al-falah (kemenangan dan keberuntungan). Semua itu jelas merupakan as-sa’adah (kebahagiaan) hakiki di dunia maupun di akhirat.
Pada pembahasan-pembahasan sebelumnya telah ditegaskan bahwa beriman kepada para rasul - alihimus salam - adalah salah satu rukun iman dari rangkaian kesatuan 6 rukun iman. Mengingkari salah satu rukun iman berarti mengingkari semuanya, begitu pula dengan iman kepada rasul.
Ittiba’ adalah bukti keimanan
Bukti keimanan kepada Rasulullah saw. yang paling utama adalah mengikuti beliau dalam segala sisi kehidupannya, selalu mentaati beliau dalam setiap perintah dan larangan yang beliau sampaikan. Sebab, mengikuti dan mentaati Rasulullah saw. adalah bukti ketaatan kita kepada Allah swt., dan mengikuti sunnah Rasulullah saw. adalah bukti kongkret mengikuti Al-Qur’an.
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An-Nisa: 80)
Barangsiapa mengaku mentaati Allah swt. namun tidak mau ittiba’ Rasulullah saw., maka ketaatannya itu tidak sah menurut Al-Qur’an; dan Rasulullah saw. berlepas diri dari orang tersebut. Dan siapapun yang mengaku melaksanakan Al-Qur’an namun tidak ittiba’ dengan sunnah Rasulullah saw., maka pengakuannya hanyalah pengakuan palsu belaka.
Sebagai contoh, untuk dapat melaksanakan shalat dengan sempurna kita memerlukan hadits Rasulullah saw. karena Al-Qur’an hanya memerintahkan kita mendirikan shalat tanpa menjelaskan rincian tata cara shalat. Bahwa shalat diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam merupakan penjelasan yang kita temukan dalam hadits Rasulullah saw., tidak dalam Al-Qur’an. Begitu pula dengan rincian pelaksanaan zakat, shaum (puasa), haji, dan ibadah-ibadah lain. Intinya, fungsi hadits Rasulullah saw. adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an atau dengan bahasa lain kita tidak akan bisa mengamalkan Al-Qur’an tanpa mengikuti sunnah Rasulullah saw.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44)
Salah seorang ulama besar, Fudhail bin ‘Iyadh, ketika menjelaskan makna “Ahsanu ‘amala” dalam surat Al-Mulk ayat 2 berkata,
أَحْسَنُ عَمَلاً : أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ. قَالَ: فَإِنَّ العَمَلَ إِذَا كَانَ خَالِصاً وَلَمْ يَكُنْ صَوَاباً لَمْ يُقْبَلْ، وَإِذَا كَانَ صَوَاباً وَلَمْ يَكُنْ خَالِصاً لَمْ يُقْبَلْ، حَتَّى يَكُوْنَ خَالِصاً صَوَاباً، وَالْخَالِصُ أَنْ يَكُوْنَ لِلهِ، وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُوْنَ عَلَى السُّنَّةِ.
“Yang dimaksud dengan ahsanu’ amala (amal yang terbaik) adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Karena sebuah amal jika dilakukan dengan ikhlas tapi tidak benar, maka amal itu tidak diterima oleh Allah. Begitu pula sebaliknya, jika amal itu benar tapi tidak ikhlas, juga ditolak oleh Allah swt. Baru diterima jika memenuhi kedua syarat tersebut (ikhlas dan benar). Yang dimaksud dengan ikhlas adalah semata karena Allah, sedangkan yang dimaksud dengan benar adalah mengikuti sunnah Rasulullah.” (Dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa vol 18/hlm 250).
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((مَثَلِي وَمَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْمًا فَقَالَ رَأَيْتُ الْجَيْشَ بِعَيْنَيَّ وَإِنِّي أَنَا النَّذِيرُ الْعُرْيَانُ فَالنَّجَا النَّجَاءَ فَأَطَاعَتْهُ طَائِفَةٌ فَأَدْلَجُوا عَلَى مَهَلِهِمْ فَنَجَوْا وَكَذَّبَتْهُ طَائِفَةٌ فَصَبَّحَهُمْ الْجَيْشُ فَاجْتَاحَهُمْ)). (رواه البخاري).
Dari Abu Musa r.a. berkata, Rasulullah saw telah bersabda, “Perumpamaanku dan perumpamaan risalah yang diberikan Allah kepadaku seperti seorang laki-laki yang mendatangi suatu kaum lalu ia berkata, ‘Aku telah melihat pasukan tentara dengan kedua mataku, kuperingatkan kalian dengan sungguh-sungguh! Segeralah cari selamat (dari keganasan mereka)!’ Lalu sebagian mereka mentaatinya sehingga mereka segera menghindar dari pasukan kejam itu hingga selamat, sedangkan yang lain mendustakannya hingga pasukan itu menemui mereka dan meluluhlantakkan mereka.” (Bukhari)
Kita dapat merasakan dari hadits shahih di atas betapa Rasulullah saw. amat ingin menyelamatkan kita dari bencana dunia dan akhirat dengan syariat dan dakwah yang ia bawa, karena syariat Islam adalah penyelamat bagi kita dari kehinaan dunia dan penderitaan di akhirat.
Buah Ittiba’
Berikut ini adalah buah ittiba’ kepada Rasulullah saw.:
1. Mahabbatullah
Natijah (buah) dari ittiba’ kita kepada Rasulullah saw. jika kita lakukan dengan benar adalah mahabbatullah (cinta dari Allah swt) sekaligus maghfirah (ampunan)Nya.
Katakanlah (hai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran: 31)
Cinta kepada Allah swt. yang dibuktikan dengan ittiba’ kepada Rasulullah saw. akan melahirkan buah manis berupa cinta Allah swt. Allah swt. memerintahkan kita mengikuti Rasulullah saw., dan setiap perintah Allah swt. apabila kita laksanakan dengan ikhlas dan benar pasti akan mendatangkan cinta dari-Nya. Ketika Allah telah mencintai hamba-Nya, maka segala kekurangan dan dosa yang terjadi akan mudah diampuni oleh Allah swt.
2. Rahmatullah
Orang-orang yang mentaati Rasulullah saw. dengan mengikuti sunnah beliau akan memperolah rahmat dari Allah swt. Karena orang-orang yang mencontoh Rasulullah saw. pastilah orang-orang yang berbuat baik atau ihsan (ingat makna ahsanu ‘amala menurut Fudhail bin ‘Iyadh di atas), dan orang-orang yang berbuat ihsan amat dekat dengan rahmat Allah swt.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-A’raf: 56).
3. Hidayatullah
«إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِيْ فَقَدِ اهْتَدَى، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ» (رواه ابن خزيمة في صحيحه وأحمد في مسنده والبيهقي في الشعب والطبراني وأبو نعيم).
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu mempunyai puncak semangat, dan setiap semangat memiliki titik jemu (lesu). Maka barangsiapa kelesuannya tetap dalam sunnahku berarti ia telah mendapat petunjuk (dari Allah), dan barangsiapa kelesuannya tidak dalam sunnahku berarti ia celaka. (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Ahmad dalam Musnadnya, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, At-Thabarani dan Abu Nu’aim).
Hadits di atas menegaskan bahwa tetap berada dalam sunnah Rasulullah saw. dalam segala keadaan akan mendatangkan tambahan petunjuk dari Allah swt. Oleh karenanya, orang-orang yang beriman selalu berusaha mengikuti sunnah Rasulullah saw. ketika sedang bersemangat atau sedang lesu (kurang semangat). Ia tidak membiarkan dirinya hanyut dan terbawa bisikan setan sehingga membuatnya jauh dari hidayah Allah swt.
4. Mushahabatul Akhyar fil Jannah
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa: 69).
Orang yang ittiba’ kepada Rasulullah saw. akan dikumpulkan bersama orang-orang pilihan di surga nanti, yaitu para nabi, orang-orang yang shiddiq, syuhada, dan shalihin.
As-Syafaah
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: “اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ”، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ » (رواه البخاري).
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa berdoa ketika mendengar panggilan adzan: ‘Ya Allah Rabb seruan yang sempurna ini, dan shalat yang ditegakkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan keutamaan, bangkitkan dia dengan kedudukan mulia yang telah Engkau janjikan kepadanya’, maka akan mendapat syafaatku di hari kiamat.” (Bukhari).
Hadits di atas menunjukkan keutamaan doa setelah adzan. Ia juga mengisyaratkan bahwa mengikuti perintah dan arahan Rasulullah saw. adalah sesuatu yang membuat kita berhak mendapatkan syafaat dari beliau. Logikanya, jika mentaati satu perintah Rasulullah saw. saja yakni membaca doa setelah adzan, akan membuat pembacanya berhak mendapatkan syafaat beliau, apalagi dengan mengikuti dan mentaati sunnah beliau secara keseluruhan, maka orang itu lebih berhak untuk mendapatkan syafaat beliau.
5. Nadharatul Wajhi
Salah satu bentuk ittiba’ Rasulullah saw. adalah mendengarkan, mempelajari, menghafal, dan memahami hadits Rasulullah saw., kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Orang yang mempelajari hadits Rasulullah saw., menghafal kemudian menyampaikannya apa adanya tanpa menambah atau mengurangi, maka Allah akan membuat wajahnya berseri dan bersinar.
« نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ » (رواه الترمذي).
Rasulullah saw. bersabda, “Semoga Allah menyinari (wajah) seseorang yang mendengar hadits dari kami, lalu ia hafal sehingga ia menyampaikannya kepada orang lain. Boleh jadi seorang pembawa fiqih menyampaikan (ilmunya) kepada orang yang lebih paham. Dan boleh jadi pembawa fiqih bukanlah seorang yang faqih.” (Tirmidzi).
Hadits di atas mendorong kita untuk selalu bersemangat mempelajari, memahami, dan menghapal hadits Rasulullah saw, kemudian menyampaikan teks hadits itu apa adanya dengan penuh amanah tanpa menambah atau mengurangi sedikitpun. Jika kita itu kita lakukan kita berhak mendapatkan wajah yang bersinar di hari kiamat nanti. Hadits di atas juga menyatakan bahwa mungkin saja orang yang disampaikan kepadanya suatu ilmu kemudian ia lebih paham daripada yang menyampaikan. Atau bahkan bisa jadi yang menyampaikan sebuah riwayat tidak memahami riwayat tersebut, sedangkan yang disampaikan justru memahaminya dengan baik.
6. Mujawaratur Rasul
Orang yang mencintai Rasulullah saw., maka ia akan berusaha sekuat tenaga untuk ittiba’ kepada Rasulullah saw. dengan mengikuti sunnah beliau. Maka orang ini akan bersama Rasulullah saw di surga, seperti sabda beliau:
((وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِى فَقَدْ أَحَبَّنِى وَمَنْ أَحَبَّنِى كَانَ مَعِى فِى الْجَنَّةِ)) (رواه الترمذي والطبراني في الأوسط)
“Barangsiapa menghidupkan sunnahku, berarti ia mencintaiku; dan barangsiapa mencintaiku, maka ia bersamaku di surga.” (Tirmidzi dan Thabarani di Al-Mu’jam Al-Awsath).
7. Izzatun Nafsi
Orang yang mengikuti Rasulullah saw. dengan ikhlas semata-mata karena mencintai Allah dan Rasul-Nya, akan meraih kemuliaan dan kekuatan jiwa dihadapan Allah swt. Betapa tidak? Ia telah mendapatkan kecintaan, ampunan, rahmat, hidayah, dan berbagai anugrah lain dari Allah swt. Dengan itu semua terangkatlah dirinya menuju tempat yang tinggi dan mulia, ia tidak lagi peduli dengan kemuliaan di mata manusia selama ia mulia di sisi Allah.
Ingatlah, kemuliaan itu terletak pada mengikuti Allah Al-‘Aziz (yang memiliki Izzah atau keperkasaan) dan mengikuti Rasul-Nya. “Padahal ‘izzah itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: .
8. Al-Falah
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Muhammad saw), memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)
Keberuntungan pasti akan diperoleh oleh mereka yang selalu ittiba’ kepada Rasulullah saw. dengan beriman kepadanya, memuliakannya, menolong (ajaran)nya, dan selalu mengikuti cahaya Al-Qur’an.
9. Kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat
Tak dapat diragukan lagi bahwa orang yang mendapatkan semua nataij dari mengikuti Rasulullah saw. di atas adalah orang-orang yang pasti berbahagia hidupnya dengan kebahagiaan hakiki di dunia maupun di akhirat.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Kalau sudah begitu, siapa yang gak mau. Makanya, buruan deh ittiba’ kepada Rasulullah saw.!
Pada pembahasan-pembahasan sebelumnya telah ditegaskan bahwa beriman kepada para rasul - alihimus salam - adalah salah satu rukun iman dari rangkaian kesatuan 6 rukun iman. Mengingkari salah satu rukun iman berarti mengingkari semuanya, begitu pula dengan iman kepada rasul.
Ittiba’ adalah bukti keimanan
Bukti keimanan kepada Rasulullah saw. yang paling utama adalah mengikuti beliau dalam segala sisi kehidupannya, selalu mentaati beliau dalam setiap perintah dan larangan yang beliau sampaikan. Sebab, mengikuti dan mentaati Rasulullah saw. adalah bukti ketaatan kita kepada Allah swt., dan mengikuti sunnah Rasulullah saw. adalah bukti kongkret mengikuti Al-Qur’an.
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An-Nisa: 80)
Barangsiapa mengaku mentaati Allah swt. namun tidak mau ittiba’ Rasulullah saw., maka ketaatannya itu tidak sah menurut Al-Qur’an; dan Rasulullah saw. berlepas diri dari orang tersebut. Dan siapapun yang mengaku melaksanakan Al-Qur’an namun tidak ittiba’ dengan sunnah Rasulullah saw., maka pengakuannya hanyalah pengakuan palsu belaka.
Sebagai contoh, untuk dapat melaksanakan shalat dengan sempurna kita memerlukan hadits Rasulullah saw. karena Al-Qur’an hanya memerintahkan kita mendirikan shalat tanpa menjelaskan rincian tata cara shalat. Bahwa shalat diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam merupakan penjelasan yang kita temukan dalam hadits Rasulullah saw., tidak dalam Al-Qur’an. Begitu pula dengan rincian pelaksanaan zakat, shaum (puasa), haji, dan ibadah-ibadah lain. Intinya, fungsi hadits Rasulullah saw. adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an atau dengan bahasa lain kita tidak akan bisa mengamalkan Al-Qur’an tanpa mengikuti sunnah Rasulullah saw.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44)
Salah seorang ulama besar, Fudhail bin ‘Iyadh, ketika menjelaskan makna “Ahsanu ‘amala” dalam surat Al-Mulk ayat 2 berkata,
أَحْسَنُ عَمَلاً : أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ. قَالَ: فَإِنَّ العَمَلَ إِذَا كَانَ خَالِصاً وَلَمْ يَكُنْ صَوَاباً لَمْ يُقْبَلْ، وَإِذَا كَانَ صَوَاباً وَلَمْ يَكُنْ خَالِصاً لَمْ يُقْبَلْ، حَتَّى يَكُوْنَ خَالِصاً صَوَاباً، وَالْخَالِصُ أَنْ يَكُوْنَ لِلهِ، وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُوْنَ عَلَى السُّنَّةِ.
“Yang dimaksud dengan ahsanu’ amala (amal yang terbaik) adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Karena sebuah amal jika dilakukan dengan ikhlas tapi tidak benar, maka amal itu tidak diterima oleh Allah. Begitu pula sebaliknya, jika amal itu benar tapi tidak ikhlas, juga ditolak oleh Allah swt. Baru diterima jika memenuhi kedua syarat tersebut (ikhlas dan benar). Yang dimaksud dengan ikhlas adalah semata karena Allah, sedangkan yang dimaksud dengan benar adalah mengikuti sunnah Rasulullah.” (Dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa vol 18/hlm 250).
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((مَثَلِي وَمَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْمًا فَقَالَ رَأَيْتُ الْجَيْشَ بِعَيْنَيَّ وَإِنِّي أَنَا النَّذِيرُ الْعُرْيَانُ فَالنَّجَا النَّجَاءَ فَأَطَاعَتْهُ طَائِفَةٌ فَأَدْلَجُوا عَلَى مَهَلِهِمْ فَنَجَوْا وَكَذَّبَتْهُ طَائِفَةٌ فَصَبَّحَهُمْ الْجَيْشُ فَاجْتَاحَهُمْ)). (رواه البخاري).
Dari Abu Musa r.a. berkata, Rasulullah saw telah bersabda, “Perumpamaanku dan perumpamaan risalah yang diberikan Allah kepadaku seperti seorang laki-laki yang mendatangi suatu kaum lalu ia berkata, ‘Aku telah melihat pasukan tentara dengan kedua mataku, kuperingatkan kalian dengan sungguh-sungguh! Segeralah cari selamat (dari keganasan mereka)!’ Lalu sebagian mereka mentaatinya sehingga mereka segera menghindar dari pasukan kejam itu hingga selamat, sedangkan yang lain mendustakannya hingga pasukan itu menemui mereka dan meluluhlantakkan mereka.” (Bukhari)
Kita dapat merasakan dari hadits shahih di atas betapa Rasulullah saw. amat ingin menyelamatkan kita dari bencana dunia dan akhirat dengan syariat dan dakwah yang ia bawa, karena syariat Islam adalah penyelamat bagi kita dari kehinaan dunia dan penderitaan di akhirat.
Buah Ittiba’
Berikut ini adalah buah ittiba’ kepada Rasulullah saw.:
1. Mahabbatullah
Natijah (buah) dari ittiba’ kita kepada Rasulullah saw. jika kita lakukan dengan benar adalah mahabbatullah (cinta dari Allah swt) sekaligus maghfirah (ampunan)Nya.
Katakanlah (hai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran: 31)
Cinta kepada Allah swt. yang dibuktikan dengan ittiba’ kepada Rasulullah saw. akan melahirkan buah manis berupa cinta Allah swt. Allah swt. memerintahkan kita mengikuti Rasulullah saw., dan setiap perintah Allah swt. apabila kita laksanakan dengan ikhlas dan benar pasti akan mendatangkan cinta dari-Nya. Ketika Allah telah mencintai hamba-Nya, maka segala kekurangan dan dosa yang terjadi akan mudah diampuni oleh Allah swt.
2. Rahmatullah
Orang-orang yang mentaati Rasulullah saw. dengan mengikuti sunnah beliau akan memperolah rahmat dari Allah swt. Karena orang-orang yang mencontoh Rasulullah saw. pastilah orang-orang yang berbuat baik atau ihsan (ingat makna ahsanu ‘amala menurut Fudhail bin ‘Iyadh di atas), dan orang-orang yang berbuat ihsan amat dekat dengan rahmat Allah swt.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-A’raf: 56).
3. Hidayatullah
«إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِيْ فَقَدِ اهْتَدَى، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ» (رواه ابن خزيمة في صحيحه وأحمد في مسنده والبيهقي في الشعب والطبراني وأبو نعيم).
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu mempunyai puncak semangat, dan setiap semangat memiliki titik jemu (lesu). Maka barangsiapa kelesuannya tetap dalam sunnahku berarti ia telah mendapat petunjuk (dari Allah), dan barangsiapa kelesuannya tidak dalam sunnahku berarti ia celaka. (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Ahmad dalam Musnadnya, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, At-Thabarani dan Abu Nu’aim).
Hadits di atas menegaskan bahwa tetap berada dalam sunnah Rasulullah saw. dalam segala keadaan akan mendatangkan tambahan petunjuk dari Allah swt. Oleh karenanya, orang-orang yang beriman selalu berusaha mengikuti sunnah Rasulullah saw. ketika sedang bersemangat atau sedang lesu (kurang semangat). Ia tidak membiarkan dirinya hanyut dan terbawa bisikan setan sehingga membuatnya jauh dari hidayah Allah swt.
4. Mushahabatul Akhyar fil Jannah
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa: 69).
Orang yang ittiba’ kepada Rasulullah saw. akan dikumpulkan bersama orang-orang pilihan di surga nanti, yaitu para nabi, orang-orang yang shiddiq, syuhada, dan shalihin.
As-Syafaah
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: “اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ”، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ » (رواه البخاري).
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa berdoa ketika mendengar panggilan adzan: ‘Ya Allah Rabb seruan yang sempurna ini, dan shalat yang ditegakkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan keutamaan, bangkitkan dia dengan kedudukan mulia yang telah Engkau janjikan kepadanya’, maka akan mendapat syafaatku di hari kiamat.” (Bukhari).
Hadits di atas menunjukkan keutamaan doa setelah adzan. Ia juga mengisyaratkan bahwa mengikuti perintah dan arahan Rasulullah saw. adalah sesuatu yang membuat kita berhak mendapatkan syafaat dari beliau. Logikanya, jika mentaati satu perintah Rasulullah saw. saja yakni membaca doa setelah adzan, akan membuat pembacanya berhak mendapatkan syafaat beliau, apalagi dengan mengikuti dan mentaati sunnah beliau secara keseluruhan, maka orang itu lebih berhak untuk mendapatkan syafaat beliau.
5. Nadharatul Wajhi
Salah satu bentuk ittiba’ Rasulullah saw. adalah mendengarkan, mempelajari, menghafal, dan memahami hadits Rasulullah saw., kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Orang yang mempelajari hadits Rasulullah saw., menghafal kemudian menyampaikannya apa adanya tanpa menambah atau mengurangi, maka Allah akan membuat wajahnya berseri dan bersinar.
« نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ » (رواه الترمذي).
Rasulullah saw. bersabda, “Semoga Allah menyinari (wajah) seseorang yang mendengar hadits dari kami, lalu ia hafal sehingga ia menyampaikannya kepada orang lain. Boleh jadi seorang pembawa fiqih menyampaikan (ilmunya) kepada orang yang lebih paham. Dan boleh jadi pembawa fiqih bukanlah seorang yang faqih.” (Tirmidzi).
Hadits di atas mendorong kita untuk selalu bersemangat mempelajari, memahami, dan menghapal hadits Rasulullah saw, kemudian menyampaikan teks hadits itu apa adanya dengan penuh amanah tanpa menambah atau mengurangi sedikitpun. Jika kita itu kita lakukan kita berhak mendapatkan wajah yang bersinar di hari kiamat nanti. Hadits di atas juga menyatakan bahwa mungkin saja orang yang disampaikan kepadanya suatu ilmu kemudian ia lebih paham daripada yang menyampaikan. Atau bahkan bisa jadi yang menyampaikan sebuah riwayat tidak memahami riwayat tersebut, sedangkan yang disampaikan justru memahaminya dengan baik.
6. Mujawaratur Rasul
Orang yang mencintai Rasulullah saw., maka ia akan berusaha sekuat tenaga untuk ittiba’ kepada Rasulullah saw. dengan mengikuti sunnah beliau. Maka orang ini akan bersama Rasulullah saw di surga, seperti sabda beliau:
((وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِى فَقَدْ أَحَبَّنِى وَمَنْ أَحَبَّنِى كَانَ مَعِى فِى الْجَنَّةِ)) (رواه الترمذي والطبراني في الأوسط)
“Barangsiapa menghidupkan sunnahku, berarti ia mencintaiku; dan barangsiapa mencintaiku, maka ia bersamaku di surga.” (Tirmidzi dan Thabarani di Al-Mu’jam Al-Awsath).
7. Izzatun Nafsi
Orang yang mengikuti Rasulullah saw. dengan ikhlas semata-mata karena mencintai Allah dan Rasul-Nya, akan meraih kemuliaan dan kekuatan jiwa dihadapan Allah swt. Betapa tidak? Ia telah mendapatkan kecintaan, ampunan, rahmat, hidayah, dan berbagai anugrah lain dari Allah swt. Dengan itu semua terangkatlah dirinya menuju tempat yang tinggi dan mulia, ia tidak lagi peduli dengan kemuliaan di mata manusia selama ia mulia di sisi Allah.
Ingatlah, kemuliaan itu terletak pada mengikuti Allah Al-‘Aziz (yang memiliki Izzah atau keperkasaan) dan mengikuti Rasul-Nya. “Padahal ‘izzah itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: .
8. Al-Falah
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Muhammad saw), memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)
Keberuntungan pasti akan diperoleh oleh mereka yang selalu ittiba’ kepada Rasulullah saw. dengan beriman kepadanya, memuliakannya, menolong (ajaran)nya, dan selalu mengikuti cahaya Al-Qur’an.
9. Kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat
Tak dapat diragukan lagi bahwa orang yang mendapatkan semua nataij dari mengikuti Rasulullah saw. di atas adalah orang-orang yang pasti berbahagia hidupnya dengan kebahagiaan hakiki di dunia maupun di akhirat.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Kalau sudah begitu, siapa yang gak mau. Makanya, buruan deh ittiba’ kepada Rasulullah saw.!